Hero Blog HR Tips

Kontroversial, Apa Isi RUU Cipta Kerja? Ini Dia Penjelasannya

Desember 6, 2021

Article by Ricky Caesar Sam

Meskipun menuai protes dari masyarakat di Indonesia  terutama dari kelas pekerja, Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 5 Oktober 2020. Lantas, apa isi RUU Cipta Kerja yang membuatnya dikecam oleh para pekerja di Tanah Air?

Simak penjelasannya berikut ini yang meliputi apa itu RUU Cipta Kerja beserta isinya dan dampaknya terhadap ketenagakerjaan. 

Apa Itu Omnibus Law dan RUU Cipta Kerja?

Yang perlu Anda ketahui terlebih dahulu adalah bahwa RUU Cipta Kerja ini telah menjadi UU serta telah diundangkan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). UU ini termasuk di dalam omnibus law atau omnibus bill, yaitu UU yang menggabungkan amandemen beberapa peraturan perundang-undangan sekaligus secara resmi menjadi sebuah UU baru. Tujuan dari omnibus law ini adalah untuk menghindari adanya tumpang tindih regulasi, serta memangkas masalah terkait dengan birokrasi. 

Dan dalam kaitannya dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja, Menko Perekonomian Airlangga Hartato seperti dilansir dari Kontan menjelaskan bahwa isi RUU Cipta Kerja akan mendorong reformasi regulasi serta debirokratisasi agar pelayanan pemerintah jadi lebih efisien, pasti, dan mudah.

Menko Airlangga mengimbuhi bahwa masalah yang sering menghambat peningkatan investasi serta pembukaan lapangan kerja meliputi lama dan rumitnya proses perizinan berusaha, beratnya persyaratan investasi, dan sulitnya pengadaan lahan. Dan adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja ini diharapkan dapat mengatasi masalah tersebut.

Di Indonesia sendiri, sebelum adanya UU Cipta Kerja, sudah ada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau UU Ketenagakerjaan yang berlaku. Dan UU Cipta Kerja berdampak pada setidaknya 74 pasal yang terdapat di dalam UU Ketenagakerjaan.

Baca Juga: Apa Saja Peraturan Jam Kerja Karyawan Menurut Depnaker

Isi RUU Cipta Kerja

Sampai akhirnya disahkan menjadi UU Cipta Kerja, isi RUU Cipta Kerja mencakup 11 klaster, yaitu:

  1. Penyederhanaan proses izin berusaha.
  2. Persyaratan untuk investasi.
  3. Ketenagakerjaan.
  4. Kemudahan serta perlindungan bagi UMKM.
  5. Kemudahan berusaha.
  6. Dukungan untuk riset dan inovasi.
  7. Urusan administrasi pemerintahan.
  8. Pengadaan lahan.
  9. Pengenaan sanksi.
  10. Kawasan ekonomi.
  11. Investasi serta proyek pemerintahan.

Dari total 11 klaster di atas, terdapat ratusan pasal di dalam isi RUU Cipta Kerja ini. Hanya saja, yang akan dibahas di sini fokus secara spesifik pada 7 poin perubahan yang bersinggungan langsung dengan UU Ketenagakerjaan.

Dirangkum dari Kontan, berikut adalah 7 poin perubahan sebagai bagian dari isi RUU Cipta Kerja yang dimaksud. 

1. Waktu kerja

Di samping mengatur soal jam kerja umum – maksimal 8 jam per hari, dan 40 jam per minggu – UU Cipta Kerja juga mengatur soal jam kerja sebagai berikut.

  • Waktu kerja lembur berubah dari maksimal 3 jam per hari dan 14 jam per minggu, menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.
  • Libur mingguan berubah menjadi 1 hari (6 hari kerja). Sedangkan di UU Ketenagakerjaan, libur mingguan bisa dipilih antara 1 hari (6 hari kerja) atau 2 hari (5 hari kerja) dana seminggu.
  • Istirahat panjang tidak diatur di dalam isi RUU Cipta Kerja yang telah menjadi UU, dan sepenuhnya diserahkan kepada perusahaan. Istirahat atau cuti panjang ini berlaku selama 2 bulan dan di dalam UU Ketenagakerjaan merupakan hak bagi pekerja yang sudah bekerja 6 tahun terus-menerus.
  • Cuti haid, hamil-melahirkan, dan hak menyusui juga tidak tercantum di dalam UU Cipta Kerja.

2. Tenaga kerja asing (TKA).

Tidak semua jenis pekerjaan akan tersedia bagi para TKA. Meski demikian, hanya TKA ahli dan yang memang dibutuhkan saja yang akan mendapatkan peluang, tepatnya dalam kondisi tertentu. Misalnya untuk penelitian, vokasi, atau situasi darurat.

3. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).

Pasal yang mengatur soal PKWT atau pekerja kontrak yang terdapat di dalam UU Ketenagakerjaan telah dihapus. Dengan demikian, isi RUU Cipta Kerja tidak memuat ketentuan khusus mengenai pekerja kontrak.

Padahal, Pasal 59 UU Ketenagakerjaan telah mengatur perjanjian PKWT yang hanya boleh dilakukan selama maksimal 2 tahun. Kemudian boleh diperpanjang lagi untuk 1 tahun. Setelah itu, pekerja tersebut dapat diangkat menjadi pekerja tetap, atau tidak dilanjutkan kembali.

4. Outsourcing.

Pemerintah menyebutkan bahwa pengusaha outsourcing atau alih daya diwajibkan untuk memberikan hak beserta perlindungan yang sama bagi seluruh pekerjanya, terlepas dari status sebagai pekerja kontrak atau tetap. Hak dan perlindungan tersebut juga mencakup soal upah, perlindungan K3, dan jaminan sosial.

5. Upah minimum.

Di dalam isi RUU Cipta Kerja yang sudah disahkan menjadi UU, terdapat 7 kebijakan terkait pengupahan yang meliputi:

  • Upah minimum.
  • Struktur beserta skala upah.
  • Perhitungan upah kerja lembut.
  • Bentuk serta cara pembayaran upah.
  • Upah karena tidak masuk kerja dan/atau karena tidak melakukan pekerjaan disebabkan alasan tertentu.
  • Upah sebagai dasar perhitungan maupun pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
  • Hal-hal lainnya yang bisa diperhitungkan dengan upah.

Di samping itu, terdapat 4 (empat) ketentuan mengenai pengupahan di dalam UU Ketenagakerjaan yang dihapus, atau sudah tidak lagi ada di dalam UU Cipta Kerja, yaitu:

  • Upah karena pekerja menjalankan (bekerja) pada hak waktu istirahat kerja.
  • Upah pembayaran pesangon.
  • Upah perhitungan PPh.
  • Potongan upah dan denda.
Isi RUU Cipta Kerja

6. Penyesuaian pesangon PHK.

UU Cipta Kerja mengatur soal penyesuaian pesangon PHK. Pesangon ini tidak lagi diberikan kepada pekerja yang terkena PHM dalam situasi tertentu, namun menambahkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Sementara itu, peniadaan pesangon PHK diterapkan bagi pekerja yang terkena PHK karena:

  • Surat Peringatan (SP).
  • Adanya peleburan dan pergantian status kepemilikan perusahaan.
  • Apabila perusahaan terus-menerus rugi selama 2 (dua) tahun dan kemudian dinyatakan pailit.
  • Karena akan masuk usia pensiun.

Di samping itu, isi RUU Cipta Kerja juga meniadakan santunan berupa pesangon bagi keluarga atau ahli waris apabila pekerja meninggal.

Sedangkan PHK dapat dilakukan oleh perusahaan dengan 9 (sembilan) alasan sebagai berikut, sesuai dengan UU Ketenagakerjaan:

  • Bangkrut.
  • Tutup karena terus-menerus rugi.
  • Terjadi perubahan status perusahaan.
  • Pelanggaran perjanjian kerja oleh pekerja.
  • Pekerja melakukan kesalahan berat.
  • Pekerja masuk usia pensiun.
  • Pekerja mengundurkan diri.
  • Pekerja mangkir.
  • Pekerja meninggal dunia.

Dan di dalam isi RUU Cipta Kerja, terdapat penambahan 5 (lima) poin alasan perusahaan dapat melakukan PHK, sehingga total terdapat 14 alasan perusahaan bisa melakukan PHK. Kelima poin tambahan tersebut adalah:

  • Terjadi efisiensi yang dilakukan oleh perusahaan.
  • Terdapat peleburan, penggabungan, pemisahan, atau pengambilalihan perusahaan.
  • Sedang dalam kondisi penundaan kewajiban pembayaran utang.
  • Terdapat perbuatan merugikan pekerja yang dilakukan perusahaan.
  • Pekerja yang sakit berkepanjangan, atau pekerja yang cacat karena kecelakaan kerja, sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan setelah melewati batas 1 tahun (12 bulan).

7. Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Program JKP ini sebelumnya tidak ada di dalam UU Ketenagakerjaan, dan baru ada sejak UU Cipta Kerja. Penyelenggaraan program JKP ini dikelola BPJS Ketenagakerjaan dengan mempergunakan prinsip asuransi sosial.

Baca juga: Peraturan Pemerintah Terbaru yang Mengatur tentang Cuti Pegawai

Kelola SDM Lebih Mudah dengan sofware HR Appsensi

Meskipun krusial, pengelolaan SDM memang bukan tugas yang mudah. Pasalnya, pengelolaan SDM ini dapat memakan banyak tenaga dan waktu. Terutama apabila banyak bagian dari pengelolaan SDM yang ternyata masih dilakukan secara manual, seperti absensi karyawan. Dengan begitu, risiko terjadinya kesalahan karena faktor manusia (human error) jadi lebih besar. Padahal, faktor human error ini bisa menyita lebih banyak waktu dan tenaga lagi untuk koreksisnya.

Oleh karena itu, apabila perusahaan Anda masih mempergunakan sistem absensi karyawan manual, penting untuk segera beralih ke sistem yang lebih modern. Contohnya dengan menggunakan aplikasi absensi karyawan online yang dapat membantu pengelolaan SDM jadi lebih mudah.

Terlebih lagi, absensi karyawan juga berkaitan erat dengan pengupahan, yang pastinya krusial bagi semua karyawan perusahaan Anda. Dengan begitu, pilihlah aplikasi absensi karyawan online yang juga memiliki fitur pengupahan alias payroll, di mana data absensi karyawan akan langsung terintegrasi dan bisa langsung diperhitungkan secara akurat untuk laporan jam kerja, keterlambatan, maupun lembur.

Salah satu aplikasi absensi karyawan online yang dapat Anda gunakan adalah Appsensi.com. Dapatkan informasi lebih lengkap dan buat penawaran Anda sekarang juga lewat www.appsensi.com

Ricky Caesar Sam

Head of Sales and Marketing Appsensi

Artikel Terkait

Top Artikel

Tulis Komentar

Nama

Email

Komentar

TOC Icon