Hero Blog General

Quiet Quitting: Pengertian, Tanda, dan Cara Mencegahnya

September 30, 2023

Article by Aprilia

Fenomena quiet quitting merupakan salah satu fenomena dalam dunia kerja yang cukup marak diperbincangkan. Istilah quiet quitting populer di kalangan pekerja yang masuk dalam kategori generasi milenial dan generasi Z, sejak pertengahan 2022.

Namun, tahukah Anda jika quite quiting yang tidak diatasi dan dibiarkan berlarut-larut dapat mengakibatkan tujuan perusahaan sulit tercapai?

Oleh karena itu, penting bagi Anda mengetahui tanda-tanda quite quiting yang mungkin Anda temui di lingkungan kerja, memahami alasan di balik fenomena tersebut, serta mengetahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan perusahaan untuk mencegah quite quitting. Simak penjelasan lengkapnya di bawah ini.

Quiet Quitting: Pengertian, Tanda, dan Cara Mencegahnya

Key Takeaways

  • Quite quitting adalah suatu sikap seseorang yang berhenti melakukan sesuatu yang ekstra dalam pekerjaannya.
  • Beberapa hal yang bisa dilakukan perusahaan untuk mencegah quite quitting, yakni memantau beban kerja karyawan, memberi kompensasi yang sesuai, coba mendengarkan karyawan, memperjelas batasan kerja dan menghargai kehidupan pribadi karyawan, membuat goals yang realistis, serta membangun komunikasi yang baik.

Apa Itu Quiet Quitting?

Melansir dari Kompas, quite quitting adalah suatu sikap seseorang yang berhenti melakukan sesuatu yang ekstra dalam pekerjaannya. Jadi, bisa dikatakan quiet quitting merupakan kebalikan dari hustle culture yang menuntut seseorang untuk terus bekerja keras. Quiet quitting memegang prinsip seorang pekerja bertugas sesuai porsinya.

Fenomena quiet quitting bermula dari unggahan mengenai quiet quitting di TikTok, dari akun bernama Zaidleppellin. Banyak pengguna media sosial memberikan komentar dengan menceritakan pengalaman serupa terkait quiet quitting. Dari sinilah kemudian muncul fenomena quiet quitting.

Dikutip dari npr.org, sekitar 33 juta karyawan di Amerika melakukan pengunduran diri pada 2021. Menurut penelitian Randstad Australia, ada 70 persen lebih dari total 35.000 sampel surveinya yang aktif mencari pekerjaan baru, 60 persen diantaranya berasal dari milenial dan gen Z. Penyebabnya, milenial dan gen Z lebih mementingkan rasa puas diri dan kebahagiaannya dibanding tujuan karir.

Baca juga: Pentingnya Self Reward untuk Produktivitas dan Kesehatan Mental

Kenali 10 Tanda-Tanda Quiet Quitting

Melansir dari Liputan6, berikut adalah tanda-tanda quiet quitting yang mungkin Anda temui di lingkungan kerja:

  1. Tidak melakukan pekerjaan di luar jam kerja, termasuk membalas pesan maupun email.
  2. Tidak aktif terlibat dalam diskusi dan rapat.
  3. Langsung mengakhiri pekerjaan begitu jam kerja selesai atau bahkan mengakhiri pekerjaan lebih awal (sebelum jam pulang kerja).
  4. Mengurangi atau bahkan menghindari datang ke acara-acara kantor atau aktivitas yang dianggap kurang penting.
  5. Tidak bersemangat dalam bekerja dan bahkan cenderung tidak peduli dengan hasilnya. 
  6. Kurang antusias dalam bekerja serta mengejar karier.
  7. Membatasi keterlibatannya dalam percakapan dengan tim kerja.
  8. Kurang memberikan kontribusi pada tim, cenderung fokus pada pekerjaan individu.
  9. Produktivitas kerja menurun.

Hal yang Bisa Dilakukan Perusahaan untuk Mencegah Quiet Quitting

Hal yang Bisa Dilakukan Perusahaan untuk Mencegah Quiet Quitting

Pada dasarnya tidak ada karyawan yang benar-benar ingin quiet quitting. Karyawan melakukan hal tersebut sebagai bentuk respons terhadap apa yang mereka rasakan selama bekerja di perusahaan.

Alih-alih mengabaikannya, perusahaan harus memahami alasan di balik fenomena quiet quitting. Perusahaan juga harus mengambil langkah tepat untuk mengatasi quiet quitting. Melansir dari iOffice, ada beberapa hal yang dapat Anda lakukan untuk mencegah quiet quitting, diantaranya sebagai berikut:

1. Pantau Beban Kerja Karyawan

“Melakukan pekerjaan dua hingga tiga karyawan” merupakan salah satu keluhan umum dari orang yang melakukan quiet quitting. Karyawan yang melakukan quiet quitting umumnya adalah karyawan yang dulu bersemangat, namun karena terlalu terbebani dan bekerja terlalu keras hingga kelelahan.

Seringkali, peningkatan beban kerja terjadi karena ada staf resign namun belum menemukan penggantinya. Dengan demikian, anggota tim lain harus mengambil peran kosong tersebut sampai karyawan baru tiba.

Jika ada peningkatan beban kerja, maka Anda harus memberikan kompensasi yang sesuai kepada karyawan yang bersangkutan. Penting bagi Anda untuk memantau dan memastikan bahwa beban kerja karyawan berbanding lurus dengan kapasitas karyawan serta waktu dan volume kerja. Kalaupun menghendaki karyawan mengerjakan pekerjaan ekstra atau lembur, disamping memberikan uang lembur, berikan juga waktu untuk istirahat sesudah lembur untuk memulihkan tenaga dan menyiapkan mental untuk kembali bekerja.

Baca juga: Jangan Biarkan Overwhelming Pada Karyawan Turunkan Produktivitas

2. Beri Kompensasi dengan Sesuai

Argumen lain yang melandasi quiet quitting adalah “hanya melakukan pekerjaan di mana Anda dibayar”. Banyak pekerja yang melakukan quiet quitting bukan karena karyawan tidak ingin melakukan pekerjaan ekstra, tetapi tidak merasa mendapatkan kompensasi yang sesuai atas usaha mereka. 

Hal ini membuat karyawan merasa tidak dihargai jerih payahnya. Kondisi ini membuat karyawan merasa dimanfaatkan dan juga merasa atasan tidak menghargai usaha yang sudah dilakukan. Akibatnya, karyawan memutuskan untuk mengurangi kinerjanya di kantor.

Tak hanya berupa uang dan kenaikan gaji, kompensasi juga bisa berupa penawaran jaminan promosi dengan batas waktu yang jelas. Kompensasi juga bisa berupa tunjangan dan fasilitas, seperti hari libur ekstra, makanan gratis, dan otonomi untuk memilih proyek.

3. Jadikan Peningkatan Opsional

Setiap karyawan memiliki aspirasi atau tujuan karir yang berbeda. Beberapa karyawan mungkin puas dengan jabatan atau posisinya di kantor, sementara yang lain ingin kenaikan jabatan ke level manajemen atau ingin pindah departemen. 

Dari sini, perlu bagi perusahaan memberikan tanggung jawab lebih pada karyawan yang menginginkan kenaikan jabatan. Dengan demikian, karyawan tersebut lebih termotivasi dan bersemangat untuk meraih posisi pada tataran jabatan yang lebih tinggi.

4. Dengarkan Karyawan

Quiet quitting tidak dilakukan secara tiba-tiba oleh karyawan. Dalam banyak kasus, karyawan biasanya sudah coba mengungkapkan keluhan mereka terkait kondisi pekerjaan yang sulit dan meminta bantuan. Akan tetapi, perusahan tidak bergerak cepat atau tidak mengambil tindakan dan menawarkan solusi untuk meringankan beban karyawan. Hal ini membuat karyawan akan merasa diabaikan. Karyawan akan merasa bahwa atasan tidak memikirkan kepentingan karyawan, atau tidak dapat mengadvokasi mereka. Pada akhirnya, hal ini akan membuat mereka memilih melakukan quiet quitting sebagai bentuk protes.

Oleh karenanya, perusahaan harus mendengarkan karyawan mereka dan menciptakan komunikasi terbuka. Perusahaan melalui manajer bisa menunjukkan empatinya pada karyawan. Kepedulian dan perhatian yang ditunjukkan atasan dapat membantu menjaga karyawan tetap termotivasi.

5. Memperjelas Batasan Pekerjaan dan Menghargai Kehidupan Pribadi Karyawan

Quiet quitting terkadang merupakan reaksi terhadap tidak adanya work life balance atau keseimbangan kehidupan kerja. Selain itu, quiet quitting dapat terjadi karena pengabaian perusahaan terhadap batasan pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Pada banyak kasus, karyawan seringkali masih diganggu dengan urusan pekerjaan, meski sudah berada di luar jam kerja atau bahkan saat libur. Hal ini terkadang muncul ketika rekan kerja atau atasan terus-menerus menelepon,mengirim pesan, atau mengirim e-mail setelah jam kerja. Tak jarang rekan kerja atau atasan pun mengharapkan karyawan untuk menjawab pesan atau email tersebut secepatnya.

Mungkin juga terjadi ketika urusan pekerjaan mengganggu liburan, atau manajer menolak permohonan pengajuan cuti. Ditambah hal ini pun tidak terjadi sekali waktu, melainkan berulang kali terjadi. Akhirnya, karyawan yang merasa bahwa perusahaan tidak menghormati waktu pribadi. Karyawan akan menggunakan cara ekstrem untuk memperjelas batasan pekerjaan tersebut, salah satunya melakukan quiet quitting.

Agar tak terjadi, perusahaan harus menghargai karyawan yang melakukan kerja lembur dengan memberikan hadiah. Pada dasarnya, menjadi advokat bagi keseimbangan kehidupan kerja tim adalah tugas manajemen perusahaan.

6. Buat Goals yang Realistis

Quiet quitting juga dapat timbul apabila karyawan merasa atasan memiliki harapan atau goals yang tidak realistis, dan menuntut hal yang tidak masuk akal. Tidak realistis yang dimaksud adalah ketika perusahaan meminta terlalu banyak di luar deskripsi pekerjaan tanpa melakukan diskusi sebelumnya.

Karyawan tersebut akhirnya bekerja pada posisi yang berbeda, tidak seperti yang mereka harapkan dan tidak sesuai jobdesk. Bahkan, memungkinkan karyawan mengambil peran ganda sehingga harus mengerjakan pekerjaan dari dua atau tiga posisi berbeda sekaligus.

Pemicu quite quitting lainnya adalah tujuan atau goals pekerjaan yang berubah terus-menerus atau tidak jelas sama sekali. Dalam beberapa kasus, quiet quitting juga timbul karena karyawan salah memahami harapan manajer, dan manajer gagal memperbaiki kesalahpahaman ini. Oleh karena itu, buatlah tujuan perusahaan yang realistis. Sebelum menetapkan tujuan, lakukan riset terkait posisi atau peran dari setiap karyawan. Hal ini agar dapat mengukur apakah tujuan yang ditetapkan bisa direalisasikan dan sepadan dengan usaha yang dikeluarkan karyawan nanti. Dengan demikian, karyawan tak merasa terbebani dengan pekerjaannya.

7. Bangun Komunikasi yang Baik

Membangun komunikasi yang baik bisa jadi solusi untuk mengatasi quiet quitting. Perlu diketahui bahwa quite quitting bisa terjadi karena seorang karyawan tidak tahu bagaimana mengungkapkan masalah mereka, atau takut untuk mengungkapkannya.

Asumsinya beragam, mulai dari atasan mengabaikan kekhawatiran mereka atau salah berasumsi bahwa pimpinan sudah mengetahuinya. Bisa juga karena karyawan tersebut takut akan timbul konflik ketika ia mengungkapkan masalahnya, sehingga ia memutuskan untuk tidak mengkomunikasikan masalah tersebut. Akhirnya, alih-alih memberanikan diri untuk mengungkapkan masalah, mereka justru mulai menarik diri dan melakukan quiet quitting.

Oleh karena itu, manajemen perlu menjembatani kesenjangan dengan membangun hubungan pada tim mereka. Dengan membangun hubungan antara manajer dan karyawan, dapat membantu menghindari miskomunikasi dan kekecewaan.

Itulah penjelasan lengkap mengenai quiet quitting, mulai dari definisi, ciri-ciri, hingga cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi quiet quitting. Intinya, perusahaan harus menawarkan solusi ketika karyawan menghadapi masalah dalam pekerjaannya.

Bicara tentang solusi, Appsensi hadir menawarkan solusi untuk membantu pengelolaan SDM. Appsensi merupakan aplikasi absensi online berbasis mobile yang mendukung kebutuhan perusahaan, pemerintahan, dan UMKM. Appsensi memberikan solusi untuk pencatatan kehadiran, penjadwalan karyawan, penarikan laporan secara real-time, dan terintegrasi dengan payroll.

Tertarik untuk mencoba menggunakan Appsensi? Atau jika Anda mempunyai pertanyaan seputar layanan Appsensi, jangan ragu untuk hubungi kami atau klik link ini untuk coba gratis selama 30 hari.

Aprilia

Human Resources Consultant

Artikel Terkait

Top Artikel

TOC Icon